misa.lagu-gereja.com        
 
View : 7506 kali
Mengenal Katolik
Sabtu, 02 September 2017

Dukacita Bunda Maria yang tidak pernah kita bayangkan (PERINGATAN Bunda Maria Berdukacita - 15 September)

Dukacita Bunda Maria yang tidak pernah kita bayangkan
(PERINGATAN Bunda Maria Berdukacita - 15 September)

Mungkin banyak di antara kita yang tidak pernah membayangkan betapa dalamnya dukacita yang dialami oleh Bunda Maria selama hidupnya di dunia ini bersama dengan Putranya yang tercinta Yesus Kristus. Ada tujuh dukacita atau pedang yang melukai Maria. Di dalam Kitab Suci, kita mendengar Bunda Maria dan St.Yusuf mempersembahkan bayi Yesus di bait Allah. Dan pada waktu itu pula, Nabi Simeon memberikan nubuat kepada Bunda Maria. Sadarkah kita bahwa inilah Pedang pertama yang melukai hati Bunda Maria ketika menerima nubuat Nabi Simeon. Di nubuatkan bahwa Putranya akan menjadi tanda yang menimbulkan perbantahan. "Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjatuhkan atau membangkitkan orang di Israel dan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan." Dan karenanya, sebilah pedang dukacita akan menembus jiwanya, "dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri".

Pernahkah kita terbayangkan bahwa pada saat Bunda Maria menerima nubuat Nabi Simeon ini, sukacitanya menjadi dukacita, seperti yang pernah Bunda Maria ungkapkan kepada St.Matilda bahwa pada saat dia menerima nubuat Nabi Simeon ini, "segala sukacitanya berubah menjadi dukacita." Meskipun Bunda Maria telah mengerti bahwa hidup Putranya akan dikurbankan demi keselamatan dunia, namun demikian ia melihat secara lebih jelas dan lebih detail sengsara dan wafat keji yang menanti Putranya. Ia tahu bahwa Putranya akan ditolak dalam segala hal dan akibat dari semua penolakan ini maka Dia akan dijatuhi hukuman mati di salib. Bunda Maria dengan ketenangan yang luar biasa menerima nubuat bahwa Putranya harus mati, dan ia senantiasa berserah diri dalam damai akan hal itu; tetapi alangkah hebatnya dukacita yang harus terus-menerus dideritanya, melihat Putranya yang menawan ini selalu ada di dekatnya, mendengar dari-Nya sabda-sabda kehidupan kekal dan menyaksikan perilaku-Nya yang kudus namun di akhir hidup-Nya akan mengalami kematian yang sangat menyayat hati.

Bunda Maria sendiri menampakkan diri kepada St.Brigitta, mengatakan bahwa semasa di dunia, tak satu detik pun terlewatkan tanpa dukacita ini mengiris jiwanya. "Seringkali," kata Bunda Maria, "saat menyusui-Nya, terbayanglah empedu dan cuka; saat membedung-Nya, terbayanglah tali-tali yang akan membelenggu-Nya, saat membuai-Nya dalam pelukan, terbayanglah salib di mana Ia akan dipakukan; saat melihat-Nya tertidur lelap, terbayanglah kematian-Nya." Setiap kali mengenakan pakaian pada-Nya, terpikirlah oleh Bunda Maria bahwa akan tiba harinya di mana pakaian akan ditanggalkan dari tubuh-Nya, bahwa Ia akan disalibkan; dan apabila ia memandangi tangan dan kaki-Nya yang kudus, ia membayangkan paku-paku yang suatu hari nanti akan dipalukan menembusi-Nya; dan seperti yang dikatakan Bunda Maria kepada St.Brigitta, "mataku bersimbah airmata, dan hatiku didera dukacita."

Setelah menerima nubuat yang memilukan dari Nabi Simeon, dalam waktu yang singkat pedang kedua datang melukai Maria ketika melarikan Bayi Yesus dari aniaya Herodes ke Mesir. "Ya Tuhan," demikian kata Beato Albertus Agung atas nama Maria, "Haruskah Ia menyingkir dari manusia, Ia yang datang untuk menyelamatkan manusia?" Maka mengertilah Bunda dalam kesedihannya bahwa nubuat Simeon mengenai Putranya sudah mulai digenapi, "Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan." Perjalanan dari Yerusalem ke Mesir sangatlah jauh, diperkirakan 300 miles, suatu perjalanan mendaki selama tiga puluh hari. Jalannya, menurut gambaran St.Bonaventura, "tidak rata, tak lazim dan jarang dilewati." Waktu itu musim dingin, jadi mereka harus berjalan dalam salju, hujan dan angin, melewati jalan-jalan becek dan licin. "Tetapi bagaimana," tanya St.Bonaventura, "mereka mendapatkan makanan? Di manakah mereka beristirahat pada malam hari? Adakah tempat menginap bagi mereka? Adakah yang mereka makan selain sepotong roti keras, entah bekal yang dibawa St.Yusuf atau diterimanya sebagai sedekah? Di manakah gerangan mereka dapat tidur dalam perjalanan yang demikian, selain di atas pasir atau di bawah pohon di hutan.

Ketika tiba di Mesir, mereka tinggal di daerah yang sangat miskin di kota Heliopolis atau di Memphis yang sekarang disebut Kairo kuno. Selama tujuh tahun tinggal di sana, mereka berjuang dengan amat sangat untuk hidup karena mereka adalah orang asing, tak dikenal, tanpa penghasilan, tanpa uang, ataupun sanak saudara. Biarlah ini menjadi penghiburan bagi kaum miskin bahwa adakalanya Maria tidak ada sepotong rotipun yang dapat dia berikan kepada Putranya, saat Ia memintanya karena lapar.
Dan akhirnya tibalah saatnya mereka kembali ke kampung halaman di Nazaret ketika raja Herodes meninggal dunia. Pada waktu itu, Yesus berumur kira-kira 7 tahun. Setelah kembali di Nazaret, setiap tahun Bunda Maria dan St.Yusuf membawa Yesus ke Bait Allah di Yerusalem pada hari raya Paskah. Terjadilah suatu ketika, pada waktu Yesus berumur 12 tahun, Dia hilang di Bait Allah. Inilah pedang ketiga yang melukai Maria, penderitaan terdahsyat yang dia alami karena kehilangan Putranya. Di bandingkan dengan dukacita yang lain, Yesus masih bersama-sama dengan Bunda Maria. Tetapi dalam dukacitanya yang ini, Bunda Maria berduka terpisah dari Yesus, bahkan tak tahu di mana Ia berada, "cahaya matakupun lenyap dari padaku." Sebab itu sambil menangis Maria mengatakan, "Ah, cahaya mataku, Yesus terkasih, tidak lagi bersamaku; Ia jauh dariku dan aku tidak tahu kemanakah gerangan Ia pergi." Dukacita Bunda Maria ini, pertama-tama, berguna sebagai penghiburan bagi jiwa-jiwa yang menderita, dan tak lagi menikmati, seperti dulu mereka menikmati, kehadiran mesra Tuhan mereka. Beata Benvenuta, rindu suatu hari dapat berbagi duka dengan Bunda Tersuci dalam dukacitanya ini dan memohon kepada Bunda Maria agar kerinduannya dikabulkan. Bunda Maria menampakkan diri kepadanya dengan Bayi Yesus dalam pelukannya, tetapi sementara Benvenuta menikmati kehadiran Kanak-kanak Yesus yang paling menawan hati ini, dalam sekejap ia dipisahkan dari-Nya. Begitu dalam kesedihan Benvenuta hingga ia mohon pertolongan Bunda Maria untuk meringankan penderitaannya, agar dukacitanya itu jangan sampai mengakibatkan kematian. Tiga hari kemudian, Santa Perawan menampakkan diri kembali dan mengatakan, "Ketahuilah, puteriku, penderitaanmu itu hanyalah sebagian kecil dari yang aku derita ketika aku kehilangan Putraku."
Bunda Maria kemudian melewati hari-harinya bersama Putranya tercinta. Melihat Putranya membesar dalam keluarganya yang sangat sederhana di Nazaret. Membantu ayah angkatnya St.Yusuf melakukan kerja-kerja kasar sebagai tukang kayu. Tidak ada yang istimewa, semua serba biasa-biasa saja. Sampailah pada waktunya Yesus harus menyampaikan kabar sukacita di umur-Nya yang ke 30 tahun. Di sinilah Yesus mulai mengalami perbantahan dari banyak pihak mengenai pengajaran-Nya terutama dari kaum Farisi dan Saduki karena yang mereka tahu Yesus berasal dari keluarga yang sederhana, anak tukang kayu. Maka sukar bagi mereka untuk mempercayai-Nya. Kaum Farisi menyerahkan Yesus ke pengadilan dengan tuduhan menghujat Allah, sedangkan kaum Saduki menentang Yesus karena ajaran Yesus tentang kebangkitan orang mati, yang mereka tidak percayai. Sekali lagi Bunda Maria mengalami dukacita yang besar ketika mendengar dari St.Yohanes bahwa Pilatus yang sangat tidak adil telah menjatuhkan hukuman mati di salib ke atas Putranya. Inilah pedang yang keempat yang melukai hatinya yaitu ketika perjumpaannya dengan Putra-Nya di Jalan Salib. Bunda Maria pergi bersama St.Yohanes, dan dari darah yang tercecer di tanah, ia tahu bahwa Putranya telah lewat. Hal ini dinyatakan Bunda Maria kepada St.Brigitta, "Dari jejak-jejak Putraku, aku tahu di mana Ia telah lewat, sebab sepanjang perjalanan, tanah dibasahi dengan darah-Nya."
Sungguh memilukan bagi Maria melihat paku-paku, palu, tali, alat-alat yang mendatangkan maut bagi Putranya, semuanya di bawa mendahului-Nya. Dan betapa suara terompet yang memaklumkan hukuman mati bagi Putranya itu menyayat hatinya! Tetapi setelah semuanya itu telah berlalu, ia mengangkat matanya dan melihat, ya Tuhan! seorang pemuda penuh berlumuran darah dan luka-luka dari ujung kepala hingga ujung kaki, sebuah mahkota duri di sekeliling kepala-Nya, dan dua palang berat di bahu-Nya Ia memandang pada-Nya, hampir-hampir tak mengenali-Nya. Di satu pihak, Bunda Maria berhasrat memandang-Nya, namun, di pihak lain ia takut tak dapat menahan hatinya melihat pemandangan yang menyayat hati itu. Pada akhirnya, mereka saling memandang. Sang Putra menyeka gumpalan darah dari mata-Nya, seperti dinyatakan kepada St.Brigitta, yang menghalangi penglihatan-Nya dan memandang Bunda-Nya, dan Sang Ibunda memandang Putranya. Perjumpaan Bunda Maria dengan Putranya ini tidak membuat dia pingsan, seperti yang dikatakan Pastor Suarez, bahwa mestinya Bunda ini telah kehilangan akal atau pun tewas/meninggal. Namun demikian Tuhan melindunginya guna menanggung dukacita yang lebih dahsyat; walaupun ia tidak mati, dukacitanya cukup menyebabkannya mati seribu kali.
St.Yohanes menyatakan bahwa ketika Bunda Maria berdiri di dekat Salib Yesus, ianya cukup mengungkapkan kemartiran Maria. Sejenak marilah kita tinggal di Kalvari dan merenungkan pedang dukacita kelima yang menembus hati Maria, yaitu saat wafat Yesus di salib. Setelah tangan dan kaki Yesus dipaku dan salib dibuat berdiri tegak, para algojo meninggalkan-Nya, namun tidak demikian dengan Maria. Ia kemudian mendekati salib, agar dapat mendampingi-Nya di saat ajal, "Aku tidak meninggalkan-Nya, "demikian Santa Perawan mengatakan kepada St.Brigitta, "melainkan tinggal dekat kaki salib-Nya." Kemudian Bunda Maria mengungkapkan kepada Santa yang sama mengenai dukacita luar biasa saat menyaksikan Putranya meregang nyawa di salib. "Yesusku terkasih napas-Nya tersengal-sengal, tenaga-Nya terkuras, dan dalam sengsara akhirnya di salib; kedua mata-Nya masuk ke dalam, setengah tertutup dan tak bercahaya; bibir-Nya bengkak dan mulut-Nya ternganga; pipi-Nya cekung, wajah-Nya kusut; hidung-Nya patah; raut wajah-Nya sengsara; kepala-Nya lunglai ke dada-Nya, rambut-Nya hitam oleh darah, lambung-Nya kempis ke dalam, kedua tangan dan kaki-Nya kaku, sekujur tubuh-Nya penuh dengan luka dan darah."
Penderitaan Yesus ini adalah penderitaan Maria juga, "setiap aniaya yang diderita tubuh Yesus," kata St.Hieronimus, "adalah luka di hati Bunda Maria." "Siapa pun yang hadir di Bukit Kalvari saat itu," kata St.Yohanes Krisostomus, "akan melihat dua altar di mana dua kurban agung dipersembahkan; yang satu adalah tubuh Yesus, yang lainnya adalah hati Maria." Tidak, lebih tepat jika kita mengatakannya bersama St.Bonaventura, "hanya ada satu altar - yaitu salib Putra, di mana, bersama dengan kurban Anak Domba Allah ini, sang Bunda juga dikurbankan." Sebab itu, St.Bonaventura bertanya kepada sang Bunda, "Oh, Bunda, di manakah gerangan engkau? Di kaki salib? Tidak, melainkan engkau berada di atas salib, disalibkan, mengurbankan diri bersama Putramu." St.Agustinus menegaskan hal yang sama, "Salib dan paku-paku sang Putra adalah juga salib dan paku-paku Bunda-Nya; bersama Yesus Tersalib, disalibkan juga Bunda-Nya." Ya, seperti dikatakan St.Bernardus, "Kasih mengakibatkan dalam hati Maria siksa aniaya yang disebabkan oleh paku-paku yang ditembuskan pada tubuh Yesus." Begitu dahsyatnya, seperti ditulis St.Bernardus, "Pada saat yang sama Putra mengurbankan tubuh-Nya, Bunda mengurbankan jiwa-Nya."
Bunda Maria benar-benar sudah dipenuhi dukacita yang mendalam melihat penderitaan dan kematian Putranya yang melebihi batas kemanusiaan. Tetapi para musuh-Nya masih belum puas dengan sengsara yang ditimpakan ke atas-Nya. Kini pedang yang keenam menembus hatinya dan sakitnya lebih dalam lagi ketika melihat seorang prajurit tanpa belas kasihan menikam lambung Putranya. Orang-orang Yahudi menghendaki agar tubuh Yesus diturunkan dari salib; agar tak mengganggu kegembiraan Sabat Paskah; tetapi hal ini tak dapat dilakukan kecuali para terhukum telah mati, para prajurit datang dengan palu besi untuk mematahkan kaki-Nya, seperti yang telah mereka lakukan pada dua penyamun yang disalibkan bersama-Nya. Bunda Maria masih menangisi kematian Putranya saat ia melihat prajurit-prajurit bersenjata ini maju mendekati Yesus. Melihat ini, Bunda gementar ketakutan, lalu berseru, "Ah, Putraku sudah wafat; berhentilah menganiaya-Nya; janganlah siksa aku lagi. Ia mohon pada mereka, tulis St.Bonaventura, "untuk tidak mematahkan kaki-Nya." Tetapi sementara ia berkata, ia melihat seorang prajurit menghunus tombaknya dan menikamkannya pada lambung Yesus, "seorang dari antara prajurit itu menikam lambung-Nya dengan tombak, dan segera mengalir keluar darah dan air." Saat tombak dihujamkan, salib berguncang dan seperti yang kemudian dinyatakan kepada St.Brigitta, hati Yesus terbelah menjadi dua. Dari sanalah mengalir darah dan air; sebab hanya sedikit tetes-tetes darah itu saja yang masih tersisa, dan bahkan itu pun rela dicurahkan oleh Juruselamat kita agar kita mengerti bahwa tak ada lagi darah-Nya yang masih tersisa yang tak diberikan-Nya kepada kita. Luka akibat tikaman itu menganga pada tubuh Yesus, tetapi Bunda Marialah yang menderita sakitnya. "Kristus," kata Lanspergius yang saleh, "berbagi sengsara ini dengan Bunda-Nya; Ia yang menerima penghinaan, Bunda-Nya yang menanggung sengsaranya." Para bapa kudus berpendapat bahwa inilah sesungguhnya pedang yang dinubuatkan Nabi Simeon kepada Santa Perawan: suatu pedang, bukan pedang materiil, melainkan pedang dukacita, yang menembus jiwanya yang terberkati yang tinggal dalam hati Yesus, di mana ia senantiasa tinggal. Dengan demikian, St.Bernardus mengatakan, "Tombak yang ditikamkan ke lambung-Nya menembus jiwa Santa Perawan yang tak pernah meninggalkan hati Putranya." Bunda Allah sendiri mengungkapkan hal yang sama kepada St.Brigitta, "Ketika tombak dicabut, ujungnya tampak merah karena darah; melihat hati Putraku terkasih ditikam, aku merasa seakan-akan hatiku sendiri juga ditikam." Malaikat menyampaikan kepada santa yang sama, "begitu dahsyat dukacita Maria, hingga hanya karena mukjizat penyelenggaraan Ilahi, ia tidak mati." Dalam dukacitanya yang lain, setidak-tidaknya ada Putranya yang berbelas kasihan kepadanya; tetapi sekarang Ia bahkan tak ada untuk berbelas kasihan kepadanya.
Kini saatnya Bunda Maria mengucapkan selamat tinggal kepada Putranya yang tercinta untuk selama-lamanya. Pedang terakhir atau ketujuh ini benar-benar membuat Bunda Maria merasa kehilangan segalanya saat Putranya dimakamkan. Bunda Maria larut dalam kesedihan ketika jenazah Putranya berada dalam pelukannya. Para murid yang kudus, khawatir kalau-kalau Bunda yang malang ini wafat karena duka yang mendalam, menghampirinya untuk mengambil jenazah Putranya dari pelukannya untuk dimakankan. Saat hendak menggulingkan batu penutup pintu masuk, para murid sang Juruselamat yang kudus terpaksa menghampiri Bunda Maria dan mengatakan, "Sekarang, ya Bunda, kami harus menutup pintu makam: maafkan kami, tengoklah sekali lagi Putramu dan sampaikanlah salam perpisahan kepada-Nya." Putraku terkasih (pasti demikianlah Bunda yang berduka berkata); aku tak kan melihat-Mu lagi. Sebab itu, pada kesempatan terakhir aku memandang-Mu ini, terimalah salam perpisahanku, salam perpisahan dari Bunda-Mu terkasih, dan terimalah juga hatiku, yang aku tinggalkan agar dikubur bersama-Mu. St.Fulgentius menulis, "Dalam diri Bunda Maria berkobar hasrat agar jiwanya dikuburkan bersama tubuh Kristus." Bunda Maria mengungkapkan kepada St.Brigitta, "Sejujurnya aku katakana bahwa saat pemakaman Putraku, dalam makam yang satu itu seolah-olah terdapat dua jiwa." "Bunda ini," kata St.Bernardus, "pergi dalam keadaan begitu berduka dan sengsara hingga ia menggerakkan banyak orang untuk meneteskan airmata; di manapun ia lewat, semua yang bersua dengannya menangis," tak kuasa menahan airmata. Ia menambahkan bahwa para murid yang kudus dan perempuan-perempuan yang menyertainya "lebih berdukacita atasnya daripada atas Tuhan mereka."
DOA:
Bundaku yang berduka, aku tidak akan membiarkan engkau menangis seorang diri, tidak, aku akan menemanimu dengan airmataku. Izinkan aku mohon rahmat ini daripadamu; perbolehkanlah bagiku rahmat agar senantiasa ada dalam benakku dan senantiasa ada dalam hatiku devosi kepada Sengsara Yesus dan kepada Dukacitamu, agar sisa-sisa hariku boleh aku lewatkan dengan menangisi dukacitamu, ya Bundaku yang lemah lembut, dan menangisi Sengsara Penebusku. Penderitaan-penderitaan ini, aku yakin, akan memberiku kepercayaan serta kekuatan yang aku butuhkan di saat ajalku, agar aku tidak jatuh dalam keputusasaan menyadari begitu banyak dosa di mana aku telah menghina Tuhan-ku. Penderitaan-penderitaan ini akan mendatangkan bagiku pengampunan, ketekunan dan surga, yang aku rindu untuk menikmatinya bersama engkau, dan agar dapatlah aku memadahkan belas kasihan Allah yang tak terbatas untuk selama-lamanya. Demikianlah yang aku harapkan, semoga terjadilah demikian.Amin.

Tulisan:
Sr.Mary Jacinta, P.Karm
(Rujukan sumber dari buku "The Seven Sorrows of Mary" and "Of the Dolours of Mary" by St.Alphonsus Liguori)


Label:   SEPTEMBER - TUJUH DUKA MARIA 



Daftar Label dari Kategori Mengenal Katolik
Agustus - Hati Maria Yang Tidak Bernoda(3)
April - Sakramen Maha Kudus (6)
Bulan Katekese Liturgi(5)
Bulan November - Jiwa-jiwa Kudus di Api penyucian(4)
Bulan Oktober - Bulan Rosario(1)
Bulan Oktober - Bulan Rosario suci(4)
Desember - Bunda Maria yang dikandung tanpa noda(4)
Februari - Keluarga Kudus Yesus Maria Yosep(5)
Ibadah(1)
Januari - Bulan menghormati Nama Yesus(5)
Juli - Darah Mulia(2)
Juni - Hati Kudus Yesus(10)
Maret - Pesta St. Yosep(3)
Mei - Bulan Maria(8)
Penutup Bulan Rosario(1)
Peringatan Arwah(2)
Rabu Abu(1)
SEPTEMBER - TUJUH DUKA MARIA(7)




Nama-Nama Bayi Katolik Terlengkap

Kalender Liturgi Katolik 2024 dan Saran Nyanyian

Kalender Liturgi Katolik Desember 2023 dan Saran Nyanyian


Orang Kudus Katolik Dirayakan Desember
Santo-Santa 13 Desember - Santa Lusia (Perawan dan Martir), Santa Odilia atau Ottilia (Pengaku Iman)

MAZMUR TANGGAPAN & BAIT PENGANTAR INJIL
- PASKAH
- KENAIKAN
- PENTAKOSTA
- BIASA



NEXT:
Nengapa bulan Mei disebut sebagai bulan Maria dan bulan Oktober sebagai bulan Rosario.

PREV:
Tata Perayaan Ekaristi Katolik by Fransiskus Hendri





Arsip Mengenal Katolik..


Jadwal Misa Gereja Seluruh Indonesia
1. Map/Peta Gereja Katolik di Jakarta
2. Map/Peta Gereja Katolik di Surabaya
3. Map/Peta Gereja Katolik di Makassar
4. Map/Peta Gereja Katolik di Bandung
5. Map/Peta Gereja Katolik di Medan
6. Map/Peta Gereja Katolik di Depok
Agustus - Hati Maria Yang Tidak Bernoda(3)
April - Sakramen Maha Kudus (6)
Bulan Katekese Liturgi(5)
Bulan November - Jiwa-jiwa Kudus di Api penyucian(4)
Bulan Oktober - Bulan Rosario(1)
Bulan Oktober - Bulan Rosario suci(4)
Desember - Bunda Maria yang dikandung tanpa noda(4)
Februari - Keluarga Kudus Yesus Maria Yosep(5)
Ibadah(1)
Januari - Bulan menghormati Nama Yesus(5)
Juli - Darah Mulia(2)
Juni - Hati Kudus Yesus(10)
Maret - Pesta St. Yosep(3)
Mei - Bulan Maria(8)
Penutup Bulan Rosario(1)
Peringatan Arwah(2)
Rabu Abu(1)
SEPTEMBER - TUJUH DUKA MARIA(7)