Sepanjang Tahun Ekaristi, paroki saya (dan
paroki-paroki lain sekitarnya) mengadakan adorasi sepanjang hari dan
juga pujian kepada Sakramen Mahakudus. Saya dibesarkan di New Jersey,
dan saya sama sekali tidak tahu menahu mengenai devosi ini. Hanya
setelah pindah ke sini saya mendengar mengenainya. Mohon penjelasan.
~ seorang pembaca di Potomac Falls
Sungguh
sayang, ketidaktahuan akan pentahtaan dan pujian kepada Sakramen
Mahakudus bukanlah hal yang luarbiasa sekarang ini. Saya ingat ketika
saya masih kanak-kanak sekitar tahun 1960-an, dalam
kesempatan-kesempatan khusus di paroki saya, Gereja St Bernadette di
Springfield, diadakan pentahtaan dan pujian kepada Sakramen Mahakudus.
Lalu, entah karena alasan apa, ritual yang indah ini menghilang. Saya
tidak ingat pernah menjumpai praktek ini lagi hingga saya masuk
seminari pada tahun 1979, di mana kami mengadakan pentahtaan dan
pujian kepada Sakramen Mahakudus pada Vesper (= Ibadat Sore) hari
Minggu, Jam Suci hari Rabu, dan 40 Jam Devosi.
Ketika saya ditugaskan sebagai pastor mahasiswa, saya mendapati
sebagian mahasiswa tidak pernah melihat pentahtaan atau pujian kepada
Sakramen Mahakudus, dan bahkan tidak mengerti sama sekali apa arti
istilah ini. Di paroki tempat saya ditugaskan sekarang, kami mengadakan
pujian kepada Sakramen Mahakudus bersamaan dengan prosesi bulan Mei;
pada prosesi Mei kami yang pertama di tahun 2001, banyak dari antara
para orangtua dan hampir semua anak-anak tidak pernah melihat pujian
kepada Sakramen Mahakudus. Sungguh suatu hal yang sangat menyedihkan.
Pentahtaan
dan pujian kepada Sakramen Mahakudus bukan hanya merupakan suatu
devosi yang sudah sangat kuno dalam Gereja kita, melainkan juga
merupakan suatu devosi yang menekankan misteri pokok Ekaristi Kudus -
bahwa Tuhan kita sungguh hadir, Tubuh dan Darah, jiwa dan
ke-Allah-an-Nya dalam Sakramen Mahakudus. Dalam surat Kamis Putih
kepada para imam, "Dominicae cenae" (Perjamuan Tuhan, 1980), Paus
Yohanes Paulus II menulis, "Oleh sebab misteri Ekaristi ditetapkan
karena kasih, dan menjadikan Kristus hadir secara sakramental, maka
layak akan syukur dan sembah sujud. Dan sembah sujud ini haruslah
menjadi yang utama dalam segala perjumpaan kita dengan Sakramen
Mahakudus..." (No. 3). Sembari menekankan pentingnya Misa Kudus, Bapa
Suci kemudian menganjurkan berbagai bentuk devosi kepada Ekaristi: doa
pribadi dan adorasi di hadapan Sakramen Mahakudus, pentahtaan dan
pujian kepada Sakramen Mahakudus, Empatpuluh Jam devosi, prosesi
Sakramen Mahakudus, Kongres Ekaristi, dan perayaan Hari Raya Tubuh dan
Darah Kristus (= Corpus Christi) secara istimewa. Segala bentuk devosi
ini yang berfokus pada Sakramen Mahakudus membantu kita dalam
persatuan rohani dengan Tuhan. Seperti disabdakan Yesus, "Akulah
roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi,
dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi" (Yoh 6:35).
Ritual pentahtaan dan pujian
kepada Sakramen Mahakudus seperti disajikan oleh Kongregasi untuk
Ibadat (1973) pada dasarnya mengikuti ritual sebagai berikut: Imam
menempatkan Sakramen Mahakudus dalam sebuah monstrans atau ostensorium
di atas altar untuk adorasi. (Sibori berisikan Sakramen Mahakudus
dapat juga dipergunakan, tetapi monstrans memungkinkan umat beriman
untuk memandang Ekaristi Kudus.) Pada saat ini, suatu madah pujian
(seperti O Salutaris Hostia) dinyanyikan sementara imam mendupai
Sakramen Mahakudus. Sepanjang periode adorasi, umat beriman dapat
berdoa dengan tenang dan membangun suatu komunio rohani yang lebih
mendalam dengan Tuhan. Namun demikian, periode adorasi hendaknya
mencakup pula doa-doa, seperti Novena atau Ibadat Harian, dan
bacaan-bacaan dari Kitab Suci yang diikuti mungkin dengan suatu homili
atau suatu anjuran untuk meningkatkan pemahaman umat beriman akan
misteri Ekaristi. Di akhir periode adorasi, imam sekali lagi mendupai
Sakramen Mahakudus sementara sebuah madah pujian dinyanyikan (misalnya
Tantum Ergo), dan kemudian imam memberkati umat beriman dengan membuat
tanda salib dengan Sakramen Mahakudus. Setelah Berkat Ekaristi, imam
menyimpan Sakramen Mahakudus dalam tabernakel.
Ritual
ini tampaknya muncul sekitar penetapan Hari Raya Tubuh dan Darah
Kristus oleh Paus Urbanus IV pada tahun 1264. Pada hari raya ini,
Ekaristi Kudus dibawa dalam suatu prosesi dalam bejana-bejana serupa
monstrans kita sekarang, yang memungkinkan umat beriman memandang
Sakramen Mahakudus. Lama-kelamaan muncul suatu kebiasaan, khususnya di
Jerman, mentahtakan Sakramen Mahakudus secara terus-menerus di semua
gereja-gereja.
Pada masa yang sama,
anggota persekutuan mulai berkumpul untuk memadahkan kidung-kidung
pujian pada sore hari sesudah kerja, demi menghormati Santa Perawan
Maria. Teristimewa, madah Salve Regina - yang digubah pada abad
kesebelas - menjadi populer dalam devosi-devosi ini. Ibadat yang
dilakukan sore hari ini di Perancis disebut Salut.
Dua
atau tiga abad sesudahnya, kedua ibadat ini tampaknya telah menyatu.
Umat beriman akan berkumpul, biasanya pada sore hari untuk memadahkan
doa-doa, teristimewa demi menghormati Santa Perawan Maria. Sakramen
Mahakudus akan ditahtakan, lagi doa-doa akan dimadahkan atau didaraskan,
dan ibadat akan diakhiri dengan pujian kepada Sakramen Mahakudus.
Menariknya, pujian kepada Sakramen Mahakudus ini hingga kini di Perancis
masih dikenal sebagai Le Salut Tres Saint Sacrement. Di Indonesia,
Pujian kepada Sakramen Mahakudus sering disebut juga sebagai Salve atau
Astuti (bahasa Jawa yang berarti "pujian").
Pada
masa pergolakan oleh kaum Protestan, Luther, Calvin dan Zwingli
menolak keyakinan akan Kurban Kudus Misa, imamat, transsubstansiasi dan
kehadiran nyata Kristus dalam Ekaristi. Dengan demikian, mereka juga
menolak devosi-devosi seperti adorasi dan pujian kepada Sakramen
Mahakudus. Sebagai tanggapan, Konsili Trente dalam "Dekret mengenai
Sakramen Ekaristi" (1551) mengajarkan, "Sebab itu, tidak ada ruang untuk
meragukan bahwa segenap umat beriman Kristus, sesuai dengan tradisi
terus-menerus Gereja Katolik, wajib menghormati Sakramen Mahakudus ini
dengan penghormatan latria yang ditujukan kepada Allah yang benar.
Jangan pula terjadi Sakramen Mahakudus kurang dihormati, sebab ia
ditetapkan oleh Kristus Tuhan untuk diterima. Sebab di dalamnya kita
percaya bahwa Tuhan yang sama hadir, Dia yang oleh Bapa yang kekal
dibawa ke dalam dunia dengan mengatakan, 'Biarlah segenap malaikat Tuhan
sujud menyembah-Nya', Dia kepada siapa para majus sujud menyembah,
dan yang terakhir, Dia yang disembah oleh para rasul di Galilea
seperti dicatat dalam Kitab Suci...." Konsili mengutuk mereka yang
menolak ajaran ini dan mereka yang bersikukuh "bahwa Sakramen
Mahakudus tidak untuk dihormati dengan perayaan-perayaan yang istimewa
ataupun dibawa dengan khidmad dalam prosesi sesuai dengan ritus
universal yang layak dipuji dan tradisi Gereja yang kudus, atau bahwa
Sakramen Mahakudus tidak untuk ditahtakan secara publik demi adorasi
umat beriman...."
Dalam ajarannya, Bapa
Suci Yohanes Paulus II menekankan pentingnya adorasi Sakramen
Mahakudus, "Penghormatan terhadap Ekaristi di luar Misa adalah harta
yang tak ternilai untuk hidup Gereja. Penghormatan ini berhubungan
hakiki dengan perayaan Kurban Ekaristi.... Menjadi tanggung jawab para
gembala, juga lewat kesaksian pribadi, mendorong adorasi Ekaristi dan
khususnya eksposisi Sakramen Mahakudus ini, di samping doa adorasi
depan Kristus yang hadir dalam rupa Ekaristi" (Ecclesia de
Eucharistia, No. 25).
Dalam
memaklumkan Tahun Ekaristi (Oktober 2004 - Oktober 2005), Bapa Suci
Yohanes Paulus II sekali lagi mendesak umat beriman, "Sepanjang tahun
ini, adorasi terhadap Sakramen Mahakudus di luar Misa hendaknya menjadi
komitmen khusus bagi setiap paroki dan komunitas religius. Marilah
kita meluangkan waktu untuk bersembah sujud di hadapan Yesus yang
hadir dalam Ekaristi, guna menyilih dengan iman dan kasih kita, segala
tindakan ceroboh dan lalai, dan bahkan penghinaan yang harus diderita
Juruselamat kita di banyak belahan dunia. Marilah kita, melalui
adorasi, memperdalam kontemplasi pribadi maupun bersama, mempergunakan
pertolongannya untuk masuk ke dalam doa yang diilhami oleh Sabda Allah
dan masuk ke dalam pengalaman bergitu banyak mistikus, baik yang lama
maupun baru. Rosario itu sendiri, apabila dipahami secara mendalam
dalam bentuk biblis dan Kristosentris, yang saya anjurkan dalam surat
apostolik 'Rosarium Virginis Mariae,' akan terbukti sebagai suatu
pengantar yang teristimewa sangat pas kepada kontemplasi Ekaristi, suatu
kontemplasi yang dilakukan bersama Bunda Maria, sebagai pendamping
dan pembimbing kita" (Mane nobiscum Domine, No. 18).
Dalam
suatu cara yang sangat pribadi, Bapa Suci juga merefleksikan, "Betapa
menyenangkan berhening bersama Dia, bersandar ke dada-Nya, seperti
Murid Tercinta, sambil merasakan kasih tak terbatas dari hati-Nya. Bila
pada dewasa kita, orang-orang Kristiani harus dibedakan terutama oleh
'seni berdoa', bagaimana kita tidak merasa kebutuhan baru
berwawancara rohani pada keheningan sujud, dalam kehangatan cinta, di
depan Kristus, yang hadir dalam Sakramen Mahakudus? Saudara saudariku,
betapa seringnya saya mengalami ini, yang daripadanya saya menimba
kekuatan, hiburan dan topangan!" (Ecclesia de Eucharistia, No. 25).
Beberapa paroki dalam keuskupan
kami mengadakan pentahtaan dan pujian kepada Sakramen Mahakudus setiap
minggu bersama dengan doa-doa novena atau sebagai bagian dari program
adorasi abadi. Paroki-paroki lain telah menambahkan devosi ini
sepanjang Tahun Ekaristi. Tanyakanlah apakah parokimu juga mengadakan
devosi yang indah kepada Tuhan kita dalam Sakramen Mahakudus.
Luangkanlah waktu untuk berdoa di hadapan Sakramen Mahakudus. Apabila
Tuhan bertanya kepada kita seperti kepada para rasul di Taman
Getsemani, "Tidakkah kamu sanggup berjaga-jaga satu jam dengan Aku?" Apakah jawab kita?
* Fr. Saunders is
pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of
catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.
sumber : "Straight Answers: Benediction of the Blessed Sacrament" by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2005 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
tambahan : "Kamus Liturgi Sederhana" oleh Ernest Maryanto; Penerbit Kanisius 2004
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: "diterjemahkan oleh YESAYA:
jgvbcg8tliCRbHdLDo3l1noR5-6OEbynmS8enWQPOBw0bwdaYvXtH6AKnLCpF1wOPssJeORLPCbAw" target="_blank" rel="nofollow" data-lynx-mode="asynclazy">www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald."