misa.lagu-gereja.com        
 
View : 4734 kali
Mengenal Katolik
Selasa, 04 Januari 2022
MENGENAL SEJARAH GEREJA KATOLIK DI INDONESIA 'KHUSUSNYA SEJARAH GEREJA KATOLIK FLORES-NTT'
#tag:

Pada dasarnya sejarah Gereja berbeda denga sejarah kebudayaan umum dan dengan sejarah aliran-aliran rohani yang lain, karena yang disebut “Gereja” itu hanya Gereja Kristen. Gereja ada oleh sebab Yesus memanggil orang yang menjadi pengiring-Nya mereka dipanggil dalam persekutuan dengan Dia yaitu Gereja. Jadi, wujud Gereja ialah pertama-tama: persekutuan dengan Kristus. Persekutuan dengan Kristus itu selalu berarti pula persekutuan dengan manusia lain.

Pertumbuhan yang sangat spektakuler dari Gereja Katolik selama empat dasawarsa pertama abad-20 dengan puncaknya anatar tahun 1920-1940, tidak dapat dipahami terlepas dari perubahan-perubahan yang besar dalam masyarakat Indonesia secara khusus dalam misi Flores yang dikaitkan dengan kejayaan kolonialisme. Dalam penulisan paper pada ini untuk menambah informasi atau wawasan saya mengambil dari beberapa sumber yakni buku Sejarah Gereja Katolik Indonesia oleh G. Vriens S.J yang diterbitkan oleh lembaga Dokumentasi Penerangan Kantor Waligereja Indonesia, buku dari Karel Steenbrink yang berjudul Orang-orang Katolik di Indonesia (1808-1942) dan juga tentunya dari beberapa artikel yang ada di internet yang menjadi sumbangsi bagi penulis untuk memperdalam dan mengenal sejar terbentuknya Gereja Di Indonesia terutama di Flores-NTT.


LATAR BELAKANG SEJARAH

Gereja Katolik Indonesia, berawal dari datangnya bangsa (pedagang) Katolik Portugis ke Indonesia yakni di Malaka untuk mencari rempah-rempah pada abad ke 16. Kontak agama Katolik dengan bumi nusantara merembet dari pangkalan Portugis di Malaka ke pulau-pulau lain melalui pelabuhan-pelabuhan utama yang disinggahi kapal-kapal dagang Portugis. Di Indonesia orang pertama yang menjadi Katolik adalah orang Maluku pada tahun 1534. Kedatanganan kekuatan militer VOC di Indonesia tahun 1619-1799 akhirnya merebut monopoli perdagangan rempah-rempah dari bangsa Portugis dan praktis menegakan hegemoni politik di Indonesia, Gereja Katolik dilarang secara mutlak melakukan kegiatan misi dan hanya bertahan di beberapa wilayah yang tidak termasuk dalam lingkup pengaruh VOC yaitu Flores dan Timor.

Para penguasa VOC beragama protestan, maka mereka mengusir imam-imam Katolik yang berkebangsaan Portugis dan menggantikan mereka dengan pendeta-pendeta protestan dari Belanda. Banyak umat Katolik yang kemudian diprotestankan saat itu, seperti yang terjadi pada komunitas-komunitas Katolik di Ambon. Imam-imam Katolik diancam bahkan dibunuh kalau ketahuan berkarya dan mengajarkan agama atau merayakan misa kudus di wilaya kekuasaan VOC. Pada akhir abad ke-18 Eropa barat diliputi perang dahsyat antara Prancis dan Britania Raya bersama sekutunya masing-masing. Simpati orang Belanda terbagi, ada yang memihak Prancis dan ada yang memihak Britania sehingga Belanda kehilangan kedaulatannya. Tahun 1806, Napoleon Bonaparte adiknya, Lodewijk atau Louis Napoleon seorang Katolik menjadi raja Belanda.

Tahun 1799 VOC bangkrut dan dinyatakan bubar. Utang-utang dan hak-hak VOC diambil alih oleh kerajaan Belanda. Perubahan politik di Belanda, khususnya kenaikan tahta raja Lousi, seorang Katolik membawa pengaruhnya cukup positif. semangat revolusi Prancis “liberte, egalite, fraternite” (kebebasan, kesetaraan, persaudaraan), merembes ke kalangan pemerintah Belanda. Hal itu terbawa ke bumi nusantara yang kemudian disebut Hinda-Belanda. Pada tanggal 8 Mei 1807, Paus Pius VII, pemimpin Gereja Katolik Roma mendapat persetujuan Raja Louis Napoleon untuk mengaktifkan kembali karya misi di Hindi Belanda dan mendirikan Perfektur Apostolik Hindia Belanda di Batavia. Selanjutnya para imam-imam dari Belanda diutus untuk bermisi di Indonesia.


GEREJA KATOLIK FLORES “SEBUAH PERKEMBANGAN”

Satu-satunya daerah Hindia-Belanda yang pada permulaan kegiatan misi abad yang lalu masih boleh disebut Katolik ialah Flores. Walaupun keadaan waktu itu menyedihkan, namun hidup keagamaan yang ditinggalkan oleh karya kerasulan pastor-pastor Dominikan di abad ke 16 masih terus berlangsung. Sejak bulan Desember tahun 1851, Flores sudah lepas dari pengaruh Portugis dan masuk lingkungan Hindia-Belanda.[3] Tahun 1853 seorang pastor yakni pastor De Hassele mengunjungi Flores bagian Timur. Ia memperkirakan bahwa jumlah umat Katolik di daerah tersebut mencapai 3.000 orang. tapi umat Katolik di daerah ini jarang mendapat kunjungan pastor setiap hari melainkan enam tahun sekali oleh pastor Portugis yang ada di Dilly (ibu kota negara Timor Leste sekarang).

Tanggal 20 April 1859 ditandatangani sebuah perjanjian yang antara lain menyebutkan suatu pasal mengenai agama. Kebebasan agama demikian bunyi yang ada dalam pasal itu, dijamin bagi penduduk pribumi di daerah-daerah yang diambil alih oleh perjanjian itu. Pemerintah Belanda sudah berpikir jauh untuk mempersiapkan hal-hal ayng perlu demi terlaksananya persetujuan tersebut.[4] Dalam hal ini bila sampai waktunya, orang-orang Larantuka (Flores bagian Timur) mendapat perhatian khusus dalam hal perawatan rohani yang mereka butuhkan.dari para pastor Belanda

Raja-raja Larantuka dan kepala-kepala suku walaupun sudah menjadi Katolik mereka tetap menaruh kecurigaan terhadap para pastor Belanda. Mengapa demikian? Karena orang-orang Larantuka sebelumnya dilayani oleh pastor Portugis. Maka setelah pergantian dari Portugis ke Belanda, orang-orang Larantuka dinasihati fra Gregorio yang ada di Diily “kalian boleh berganti bendera, tetapi jangan sekali-kali berganti iman.” Orang-orang Larantuka kwatir dengan kehadiran orang-orang Belanda, jangan-jangan mereka akan dijadikan Protestan.

Menurut raja-raja ini, dengan kehadiran orang-orang Belanda maka pemerintah Belanda juga ikut mempersempit kekuasaan mereka. Pemerintah Belanda ingin menghapuskan tindakan-tindakan pemuka adat yang sewenang-wenang, dan menghapuskan perdagangan budak yang waktu itu masih subur di daerah Flores.[5]. Tapi ketika seorang pastor Belanda membawa surat rekomendasi dari salah seorang pastor Portugis di Diily, besar sekali kegembiraan mereka. Ada jugaraja-raja yang menunjukkan kegiatan istimewa dalam mengkristenkan orang-orang pribumi yang masih kafir. Tetapi sekaligus mereka mempersulit pekerjaan para misionaris.

Tahun 1860 adalah pastor I.P.N Sanders yang mulai bekerja di pulau Flores. Tahun itu tepatnya tanggal 27 Mei[7], adalah saat perkembangan baru misi Flores sebagai misi yang akan berkembang di kemudian hari dan yang kita saksikan sekarang ini. Pastor Sanders yang ketika memulai karyanya di Flores sudah berusia 43 tahun dan ia bersedia untuk tugas di Flores. Ketika penduduk setempat tahu bahwa pastor Sanders adalah seorang imam Katolik sejati, orang-orang setempat menjadi sangat antusias. Mereka menyatakan niat untuk hidup layaknya orang Katolik. Tetapi ada orang-orang kafir yang baru dibaptis, kebiasaan mereka masih sulit diatasi seperti mabuk-mabukan dan balas dendam. Sebab mereka belum tahu apa artinya tuntutan minimal hidup secara kristen dengan baik.

Kehidupan Kristen penduduk Flores dapat dibandingkan dengan keadaan Gereja mereka, sama terbengalainya. Namun mereka merasa bahwa bangunan gereja mereka sudah bagaikan gedung yang hebat saja. dengan demikian tidak mengherankan bahwa mereka menganggap dirinya orang Kristen yang sempurna, sesempurna Gereja mereka. Tapi dalam pelaksanaanya mereka sungguh-sungguh buta huruf. Betapa banyak hal buruk yang mereka lakukan seperti takhyul, animisme dilakukan dengan leluasa, mabuk-mabukan balas dendam dan semua kekejaman yang tak berperikemanusiaan.


PERLUASAN AGAMA KATOLIK DI SELURUH DAERAH-DAERAH DI FLORES

Flores pada waktu itu dibagi ke dalam lima wilayah utama: Larantuka dan Sikka di sebelah timur, Lio, Ngada dan Manggarai di belahan barat. Pada waktu itu para misionaris mendirikan sekolah-sekolah yang ada di Lela (Sikka) dan guru-guru yang telah menyelesaikan sekolah gurunya kemudian dipindah untuk mengajar di beberapa tempat yang masih kekurangan guru sekaligus membantu pekerjaan para pastor. Daerah misi Larantuka di tahun delapan belas tujuhpuluhan , menunjukan gambaran misi yang berkembang secara pelan tetapi tetap dan mantap. Kehidupan keagamaan, menghadiri ibadat hari minggu dan mendengarkan pelajaran agama, makin lama makin baik. Kebanggan orang Flores akan ke-Katolikan mereka tidak lagi menjadi kebanggan kosong, melainkan harus berlandaskan kehidupan kristen yang layak.

Ekspansi misi Gereja Katolik di Flores yang bermula di kota Larantuka kemudian bergerak ke arah barat menuju Ende dan Ngada, akhirnya sampai juga di barat pulau itu yakni Manggarai. [10] Seperti banyak wilaya lain di Indonesia pada kurun ini dan khususnya di Flores, ekspansi kuantitatif merupakan sasaran utama para klerus.[11] Di wilayah di mana mereka memulai paling akhir, mereka menggapai hasil-hasil mencolok dalam kurun yang singkat: kira-kira sepertiganya adalah orang-orang Katolik yang tekun. Banyak orang yang sudah dibaptis menaati perintah untuk mengaku dosa dan menerima komuni pada masa paskah.

Ekspansi sekolah dan Gereja Katolik di bagian tengah dan barat Flores berkembang secara sangat spektakuler, demikian juga di wilayah-wilayah bagian timur, di mana sudah dikatakan pada bagian awal bahwa Gereja Katolik di Flores sudah ada sejak tahun 1860, juga mengalami perkembangan pesat sejak tahun 1910-an dan dasawarsa selanjutnya.[13] Bulan Mei-Juni 1904 terjadi serangan besar terhadap kewenangan raja Sikka. Pasukan kolonial mengirim prajurit dari Kupang untuk memadamkan pemberontakan. Perang saudara di Sikka serta pelengseran raja Larantuka pada pertengahan tahun 1904, mencerminkan apa yang terjadi di bagian timur Flores serupa dengan kampanye militer yang dilancarkan Letnan Christoffel di bagian tengah dan barat Flores, yakni dimulainya campur tangan pemerintah kolonial secara jauh lebih intensif, dengan hasil samping berupa meningkatnya secara tajam kehadiran Gereja Katolik di luar pusat-pusat tua di Lantuka, Sikka,dan Maumere.


KOLONIALISME DAN PERLOMBAAN AGAMA ISLAM DAN KATOLIK DI FLORES

Sekitar tahun 1900 ada banyak kelompok Muslim yang berbeda di wilayah ini. Kesultanan Sumbawa yang nyaris punah merunut muasalnya ke Banjarmasin. Kesultanan Bima melestarikan kenangan tentang asal-usulnya dari penguasa Hindu Majapahit di Jawa namun mempertaruhkan relasi yang lebih erat dengan kebudayaan orang-orang muslim Bugis-Makassar. Sultan Bima mengklaim kedaulatan atas Bugis, barat Flores dengan Labuhan Bajo, Reo dan Riung sebagai kota pelabuhan yang paling penting. Di pantai selatan Flores, pulau Ende dan kota-kota pelabuhan di sekitarnya sudah didominasi oleh kaum muslim dari Makassar sejak kemenangan mereka atas para saudagar Portugis (1620-1630).

Ada sejumlah kecil pedagang Arab yang sejak abad ke 19 menetap di Ende, Sumba dan Timor. Walaupun mereka hanya sekelompok kecil (tercatat tahun 1905 tercatat ada 303 orang keturunan Arab di kresidenan Kupang, jumlah ini kemudian melonjak menjadi 2.688 pada tahun 1930).[16] Mengapa Muslim yang terbilang tegas dan berdedikasi, tidak menyebarkan agama mereka kepada suku-suku yang mendiami wilayah pedalaman berpegunungan di pulau itu. Seorang pengamat menunjukan kurangnya semangat misioner dalam abad-abad sebelum kolonisasi aktif di daerah itu. Yang lain mengatakan bahwa kendala utamanya ialah tradisi makan daging babi dari para penduduk di pulau itu..

Sejak tahun 1910, peningkatan tajam jumlah para haji tampak gamblang. Namun tampaknya berhenti selama berkecamuknya perang antara tahun 1914-1918 lalu baru muncul lagi sesuda perang. Beberapa sikap pejabat pemerintah kolonial memegang prinsip netralitas dalam hal beragama, dan sebagian malah memperlihatkan sikap was-was terhadap posisi istimewa agama Kristen. Sebuah sekolah Katolik dibuka di Labuhan Bajo tahun 1911 dengan seorang guru bernama Manuel Fernades. Salah satu kegiatan utama sekolah ini adalah menyanyikan lagu-lagu gerejani dalam bahasa Melayu, namun seorang yang bernama Van Suchtelen melarang hal tersebut karena daftar murid sekolah itu cuman menunjukan nama-nama muslim.

Sikap Van Suchtelen membangitkan reaksi keras dari pihak misionaris. Mereka menandaskan bahwa kebijakan pemerintah ialah mempercayakan pengelolaan semua tingkatan pendidikan kepada para klerus, dan karena itu pengajaran agama Katolik merupakan bagian dari kesepakatan tersebut. Salah satu alasan mengenai sikap netral para pejabat pemerintah kolonial ialah barangkali keyakinan mereka yang tulus bahwa netralitas religius merupakan kebijakan untuk seluruh negeri jajahan itu. Beberapa barangkali alasan-alasan anti klerus.

Sekitar tahun 1900 ada banyak kelompok Muslim yang berbeda di wilayah ini. Kesultanan Sumbawa yang nyaris punah merunut muasalnya ke Banjarmasin. Kesultanan Bima melestarikan kenangan tentang asal-usulnya dari penguasa Hindu Majapahit di Jawa namun mempertaruhkan relasi yang lebih erat dengan kebudayaan orang-orang muslim Bugis-Makassar. Sultan Bima mengklaim kedaulatan atas Bugis, barat Flores dengan Labuhan Bajo, Reo dan Riung sebagai kota pelabuhan yang paling penting. Di pantai selatan Flores, pulau Ende dan kota-kota pelabuhan di sekitarnya sudah didominasi oleh kaum muslim dari Makassar sejak kemenangan mereka atas para saudagar Portugis (1620-1630).

Ada sejumlah kecil pedagang Arab yang sejak abad ke 19 menetap di Ende, Sumba dan Timor. Walaupun mereka hanya sekelompok kecil (tercatat tahun 1905 tercatat ada 303 orang keturunan Arab di kresidenan Kupang, jumlah ini kemudian melonjak menjadi 2.688 pada tahun 1930).[16] Mengapa Muslim yang terbilang tegas dan berdedikasi, tidak menyebarkan agama mereka kepada suku-suku yang mendiami wilayah pedalaman berpegunungan di pulau itu. Seorang pengamat menunjukan kurangnya semangat misioner dalam abad-abad sebelum kolonisasi aktif di daerah itu. Yang lain mengatakan bahwa kendala utamanya ialah tradisi makan daging babi dari para penduduk di pulau itu.

Sejak tahun 1910, peningkatan tajam jumlah para haji tampak gamblang. Namun tampaknya berhenti selama berkecamuknya perang antara tahun 1914-1918 lalu baru muncul lagi sesuda perang. Beberapa sikap pejabat pemerintah kolonial memegang prinsip netralitas dalam hal beragama, dan sebagian malah memperlihatkan sikap was-was terhadap posisi istimewa agama Kristen. Sebuah sekolah Katolik dibuka di Labuhan Bajo tahun 1911 dengan seorang guru bernama Manuel Fernades. Salah satu kegiatan utama sekolah ini adalah menyanyikan lagu-lagu gerejani dalam bahasa Melayu, namun seorang yang bernama Van Suchtelen melarang hal tersebut karena daftar murid sekolah itu cuman menunjukan nama-nama muslim.

Sikap Van Suchtelen membangitkan reaksi keras dari pihak misionaris. Mereka menandaskan bahwa kebijakan pemerintah ialah mempercayakan pengelolaan semua tingkatan pendidikan kepada para klerus, dan karena itu pengajaran agama Katolik merupakan bagian dari kesepakatan tersebut. Salah satu alasan mengenai sikap netral para pejabat pemerintah kolonial ialah barangkali keyakinan mereka yang tulus bahwa netralitas religius merupakan kebijakan untuk seluruh negeri jajahan itu. Beberapa barangkali alasan-alasan anti klerus.


PENUTUP

Ada perbedaan besar anatar para misionaris Yesuit abad ke-19 dan para misionaris SVD yang melayani misi setelah tahun 1913. Para misionaris SVD melihat agama tradisional Flores sebagai agama yang cacat, namun bukan melulu sebagai sebuah faktor negatif. Namun mereka sringkali menunjukan pemahaman dan simpati terhadap agama tradisional Flores. Sedangkan para misionaris Yesuit abad ke 19 lebih memandang agama tradisional sebagai kekafiran. Para imam Yesuit tidak pernah menunjukkan penghormatan dan pemahaman seperti itu terhadap agama lokal Flores. Di mata misionaris SVD, kepercayaan orang-orang Flores itu tepat dan benar, maka karya misi Gereja terutama dikembangkan dalam bidang pendidikan, pemurnian dan pembinaan lebih lanjut. Keserupaan dasar antara agama Flores dan kekatholikan berada ternyata begitu jelas baeada pada ranah wujud tertinggi.


DAFTAR PUSTAKA

Berkhof. H, I. H. Enklaar, Sejarah Gereja, Jakarta: Gunung Mulia, 1991
Steenbrink Karel, Orang-orang Katolik di Indonesia,Maumere: Penerbit Ledalero, 2006






Daftar Label dari Kategori Mengenal Katolik
Agustus - Hati Maria Yang Tidak Bernoda(3)
April - Sakramen Maha Kudus (6)
Bulan Katekese Liturgi(5)
Bulan November - Jiwa-jiwa Kudus di Api penyucian(4)
Bulan Oktober - Bulan Rosario(1)
Bulan Oktober - Bulan Rosario suci(4)
Desember - Bunda Maria yang dikandung tanpa noda(4)
Februari - Keluarga Kudus Yesus Maria Yosep(5)
Ibadah(1)
Januari - Bulan menghormati Nama Yesus(5)
Juli - Darah Mulia(2)
Juni - Hati Kudus Yesus(10)
Maret - Pesta St. Yosep(3)
Mei - Bulan Maria(8)
Penutup Bulan Rosario(1)
Peringatan Arwah(2)
Rabu Abu(1)
SEPTEMBER - TUJUH DUKA MARIA(7)




Nama-Nama Bayi Katolik Terlengkap

Kalender Liturgi Katolik 2024 dan Saran Nyanyian

Kalender Liturgi Katolik Desember 2023 dan Saran Nyanyian


Orang Kudus Katolik Dirayakan Desember
Santo-Santa 13 Desember - Santa Lusia (Perawan dan Martir), Santa Odilia atau Ottilia (Pengaku Iman)

MAZMUR TANGGAPAN & BAIT PENGANTAR INJIL
- PASKAH
- KENAIKAN
- PENTAKOSTA
- BIASA



NEXT:
Penggunaan Syahadat Para Rasul dan Syahadat Nikea-Konstantinopel dalam Perayaan Ekaristi

PREV:
APA ITU OBLATIONES, IURA STOLAE DAN STIPENDIUM?





Arsip Mengenal Katolik..


Jadwal Misa Gereja Seluruh Indonesia
1. Map/Peta Gereja Katolik di Jakarta
2. Map/Peta Gereja Katolik di Surabaya
3. Map/Peta Gereja Katolik di Makassar
4. Map/Peta Gereja Katolik di Bandung
5. Map/Peta Gereja Katolik di Medan
6. Map/Peta Gereja Katolik di Depok
Agustus - Hati Maria Yang Tidak Bernoda(3)
April - Sakramen Maha Kudus (6)
Bulan Katekese Liturgi(5)
Bulan November - Jiwa-jiwa Kudus di Api penyucian(4)
Bulan Oktober - Bulan Rosario(1)
Bulan Oktober - Bulan Rosario suci(4)
Desember - Bunda Maria yang dikandung tanpa noda(4)
Februari - Keluarga Kudus Yesus Maria Yosep(5)
Ibadah(1)
Januari - Bulan menghormati Nama Yesus(5)
Juli - Darah Mulia(2)
Juni - Hati Kudus Yesus(10)
Maret - Pesta St. Yosep(3)
Mei - Bulan Maria(8)
Penutup Bulan Rosario(1)
Peringatan Arwah(2)
Rabu Abu(1)
SEPTEMBER - TUJUH DUKA MARIA(7)