misa.lagu-gereja.com        
 
View : 4340 kali
Kutipan Katolik
16 Januari 2022
SEJARAH KASULA LIPAT
#tag:

Kasula lipat adalah busana liturgi yang dipakai oleh diakon dan subdiakon selama masa tobat sebagai ganti dalmatik dan tunik. Penggunaan kasula lipat bermula sejak zaman Gereja awal, ketika semua klerus memakai kasula.

SEJARAH
Kasula awalnya adalah pakaian sipil yang dipakai oleh orang-orang Etruskan, dan tersebar luas di Kekaisaran Romawi sejak abad pertama, sampai pakaian itu menjadi pakaian anggun yang umum dipakai. Kasula adalah pakaian bundar dengan lubang di tengahnya untuk dilewati kepala, dan menutupi tubuh bagian atas hingga ke lutut. Ini dikenal dengan nama yang berbeda, yang pertama adalah: pænula, nama yang paling umum di Romawi kuno; casula, yang secara harfiah berarti “rumah kecil” karena itu semacam tenda kecil; planeta, istilah yang kemudian dipakai dalam buku-buku liturgi Romawi, sedangkan di Eropa Barat lebih suka memakai istilah casula; dan amphibalus, yang terutama dipakai oleh para bapa Gereja dari Gaul.

Kasula kemudian dilestarikan pada awal era kita, untuk menggantikan toga lama yang terlalu berat dan kurang praktis. Para orator Romawi mulai memakai kasula sebagai ganti toga ketika membela kasus-kasus, agar memiliki lebih banyak kebebasan untuk melakukan gerakan oratoris [1]. Di bawah Kaisar Trajan (98-117), para tribunus [pejabat Romawi] memakai kasula, dan Commodus (180-192) memerintahkan agar mereka yang membantu pertunjukan publik harus memakai kasula dan bukan lagi memakai toga. Kasula menjadi jubah senator pada tahun 382.

Orang-orang Kristen tentu saja memakai pakaian ini [2] dan pada awal abad ke-3 Tertullianus menghukum orang-orang beriman yang melepaskan kasula mereka selama doa liturgi karena alasan yang dia sebut sebagai takhayul [3]. Ketika kasula menjadi jubah kehormatan bagi perwira tinggi kekaisaran, orang-orang Kristen berupaya memberikan para pejabat tribunus dan senator mereka sendiri " yaitu uskup, imam, dan diakon" tanda kehormatan yang sama.

Dalam tulisan-tulisan Kristen, penyebutan awal tentang kasula sebagai busana liturgi ditemukan dalam bagian kedua dari dua surat yang ditulis oleh St. Germanus dari Paris († 576), yang berisi penjelasan tentang Misa menurut Ritus Gallikan kuno:
Casula quam amphibalum vocant, quod sacerdos induetur, tota unita per Moysem legiferum instituta primitus demonstratur. Jussit ergo Dominus fieri dissimilatum vestimentum, ut talem sacerdos induerit, quale indui populus non auderetur. Ideo sine manicas, quia sacerdos potius benedicit quam ministrat. Ideo unita prinsecus, non scissa, non aperta; quia multae sunt Scripturae sacrae secreta mysteria, quae quasi sub sigillo sacerdoti doctus debet abscondere, et unitatem fidei custodire, non in haerese vel schismata declinare.

Kasula, yang dikenal sebagai amphibalus dan yang dipakai imam, menunjukkan kesatuan asli dari semua yang dilembagakan oleh Musa sang Pemberi Hukum. Sekarang, Tuhan memerintahkan agar dibuat jubah yang berbeda, agar orang-orang tidak berani memakai apa yang dipakai imam. Karena itu kasula tidak memiliki lengan baju, karena tugas imam adalah memberkati daripada melayani. Oleh karena itu sejak awal kasula telah menjadi satu bagian, dan tidak terbelah atau terbuka, karena banyak misteri yang tersembunyi dalam Kitab Suci, yang harus disembunyikan oleh imam terpelajar di bawah meterai, dan menjaga kesatuan iman, juga agar tidak jatuh ke dalam bidah atau skisma.

Namun demikian, jauh sebelum penyebutan pertama ini, banyak lukisan dinding, mozaik, dan miniatur dari abad ke-4 dan seterusnya yang menunjukkan bahwa kasula sebagian besar diadopsi selama era ini sebagai busana liturgi, baik di Timur maupun di Barat.
Pada masa ini, kasula adalah busana liturgi yang umum bagi semua klerus, tidak hanya bagi uskup dan imam, tetapi juga bagi diakon, subdiakon, dan " menurut Alcuin (730-804)" dalam keadaan tertentu bahkan juga dipakai oleh para akolit! Amalarius dari Metz (775-850) memberi tahu kita bahwa kasula masih dipakai pada masanya oleh semua klerus tanpa perbedaan. Dia menyebutnya sebagai generale indumentum sacrorum ducum [busana umum para pemimpin agama] [4]. Kasula masih dipakai oleh para akolit di daerah tertentu sampai abad ke-11 [5].
Bagi uskup atau imam yang merayakan Misa, busana liturgi ini tidak menimbulkan ketidaknyamanan dalam melaksanakan upacara suci, seperti yang dicatat oleh St. Germanus dari Paris: “Kasula tidak memiliki lengan baju, karena tugas imam adalah untuk memberkati daripada melayani”. Tetapi para pelayan "diakon dan subdiakon" harus menyesuaikan kasula untuk tugas mereka: mereka menggulung ke bagian belakang kasula, sehingga lengan para pelayan dapat bebas mengurus bejana-bejana suci. Dan dengan demikian busana itu dijuluki “kasula lipat”, atau planetæ plicatæ ante pectus, seperti yang tertulis dalam buku-buku liturgi Latin.

Dari mulai menyanyikan Injil sampai akhir Misa, diakon menggulung kasulanya supaya lebih bebas dalam gerakannya dan menyampirkan kasula di pundaknya di atas stola.

Kasula imam tidak perlu dilipat [6] karena diakon dan subdiakon akan membantunya dengan mengangkat tepi kasula pada saat-saat tertentu selama pedupaan dan pada saat elevasi roti dan anggur. Gerakan indah ini dengan setia dipelihara oleh liturgi Romawi, bahkan ketika hal itu tidak lagi diperlukan setelah kasula imam mulai dipotong dan dikurangi bentuknya.

Faktanya, kasula lipat yang dipakai oleh diakon dan subdiakon adalah simbol yang jelas dari fungsi mereka sebagai pelayan kudus, yaitu peran mereka sebagai pelayan selebran.
Kasula lipat diakon dan subdiakon kemudian diganti mulai pada abad ke-5, dengan dua busana liturgi baru, yaitu dalmatik dan tunik, busana ini dilengkapi dengan lengan sehingga lebih mudah diatur dalam melaksanakan fungsi liturgis dan pelayanan mereka.

Namun, Roma membutuhkan waktu yang lama untuk mengadopsi hal baru ini. Ordines Romani yang menggambarkan liturgi Romawi pada masa St. Gregorius Agung dan sedikit sesudahnya (abad ke-7) masih menamai kasula sebagai busana liturgi yang dipakai oleh paus, diakon, dan subdiakon. Selain itu, Yohanes sang Diakon (825-880), penulis biografi St. Gregorius Agung (540-604), dalam bukunya Vita Gregorii Magni, menggambarkan para klerus yang menyertai paus dalam prosesi dengan istilah planeti (“mereka yang memakai planetæ atau kasula”).

Ketika Roma akhirnya menerima penggunaan dalmatik dan tunik, Roma tetap menggunakan kasula lipat untuk diakon dan subdiakon selama masa Prapaskah dan masa tobat, mengikuti prinsip liturgi secara umum bahwa masa-masa yang dianggap paling suci juga merupakan masa-masa yang terhindar dari inovasi liturgi.

Selanjutnya, dalmatik dan tunik adalah busana mewah yang melambangkan sukacita dan kemurnian. Pada zaman dahulu, warna dalmatik dan tunik hanya berwarna putih, dan dalmatik kuno juga dihiasi dengan dua pita vertikal ungu terang (lati claves) yang menghiasi pakaian senator kuno. Selama penahbisan seorang diakon, uskup memakaikan dalmatik kepada diakon dengan mengucapkan kata-kata ini: “Semoga Tuhan memakaikan pakaian keselamatan dan jubah sukacita (indumento lætitiæ) kepadamu, dan selalu mengelilingimu dengan dalmatik keadilan”. Doa yang setara untuk pemakaian tunik pada subdiakon juga berbicara tentang vestimento lætitiæ [busana liturgi sukacita]. Konsekuensinya, penggunaan dalmatik dan tunik sama sekali tidak sesuai untuk masa tobat, oleh karenanya penggunaan kasula lipat tetap dipertahankan.

ATURAN UNTUK PENGGUNAAN LITURGI
Kasula lipat dipakai dalam liturgi Romawi selama masa tobat. Sejauh mana tepatnya dari masa-masa ini dijelaskan dalam bab XIX, §§ 6 dan 7 dari rubrik Misale Romawi St. Pius V (De qualitate paramentorum) [7]:

“Di katedral dan gereja-gereja besar, kasula yang dipakai dilipat di depan dada pada hari-hari puasa (kecuali pada Vigili Hari Raya Semua Orang Kudus), dan pada hari Minggu dan hari-hari biasa pada masa Adven dan Prapaskah, dan pada Vigili Pentakosta sebelum Misa (kecuali pada:
• Minggu Gaudete;
• Minggu Lætare;
• Vigili Natal;
• Sabtu Suci selama pemberkatan lilin dan selama Misa;
• Embertide Pentakosta [hari Rabu, Jumat, dan Sabtu setelah Minggu Pentakosta]);
• selama pemberkatan lilin dan prosesi pada Pesta Purifikasi Santa Perawan Maria, selama pemberkatan abu [pada hari Rabu Abu], dan selama pemberkatan daun palem dan prosesi [pada Minggu Palma].”

“Namun, di gereja-gereja kecil, pada hari-hari puasa tersebut (diakon dan subdiakon) melayani dengan alba; subdiakon dengan manipel, dan diakon dengan stola yang tergantung dari bahu kirinya sampai ke bawah kanannya.”

Di sini kami akan menjelaskan aspek-aspek tertentu dari rubrik ini secara lebih rinci. Meskipun terlihat rumit, aspek-aspek ini mengikuti beberapa prinsip sederhana dan logis:
1. Kasula lipat hanya dipakai pada masa tobat, dan karenanya hanya ada kasula lipat warna ungu dan kasula lipat warna hitam. Kasula lipat tidak dipakai (bahkan jika rubrik di atas tidak membuatnya eksplisit) untuk Misa Kamis Putih yang dirayakan dengan warna putih, tetapi untuk Misa Prapenyucian pada Jumat Agung, dirayakan dengan warna hitam. Sebelum reformasi tahun 1950-an, Vigili Pentakosta itu bagaikan Vigili Paskah kedua, dan terdiri dari enam bacaan nubuat sebelum dimulainya Misa. Persiapan Misa dirayakan dengan warna ungu dan karenanya kasula lipat dipakai. Selanjutnya Misa dirayakan dengan warna merah. Demikian juga pada hari Sabtu Suci, diakon memberkati lilin Paskah dengan dalmatik putih, kemudian memakai kasula lipat warna ungu lagi untuk persiapan Misa (yang terdiri dari dua belas bacaan nubuat dan pemberkatan bejana baptis). Selanjutnya Misa dirayakan dengan busana liturgi putih.

2. Minggu Adven dan Minggu Prapaskah bukanlah hari puasa (orang tidak berpuasa pada hari Minggu karena merupakan hari kebangkitan Kristus) tetapi masih termasuk sebagai bagian dari masa tobat karenanya dirayakan dengan warna ungu. Meskipun demikian, rubrik Misale Romawi tidak menyebutkan Minggu Septuagesima, yang juga dirayakan dengan warna ungu. Dengan beberapa pengecualian, para komentator dari abad pertengahan tidak merekomendasikan penggunaan kasula warna ungu selama masa persiapan Prapaskah. (Untuk mengikuti rubrik secara ketat, seseorang tidak boleh memakainya pada hari Minggu selama Septuagesima, tetapi orang dapat mempertimbangkan penggunaannya pada hari Senin, Rabu, dan Jumat pada tiga pekan pada masa ini, karena itu sebelumnya adalah hari puasa).

3. Minggu Gaudete dan Minggu Lætare adalah “hari istirahat” di tengah-tengah masa Adven dan Prapaskah, hari sukacita ketika Gereja memberikan umat beriman suatu cicipan sukacita yang menanti mereka di akhir dua masa tobat ini: busana liturgi yang dipakai berwarna merah muda bukan ungu, altar dihiasi dengan bunga, organ dan alat musik lainnya dimainkan. Misa Minggu Gaudete dapat dirayakan lagi selama pekan berikutnya, dan diberikan dengan hak istimewa yang sama (Misa Minggu Lætare tidak dapat diulangi selama pekan berikutnya, karena setiap hari biasa dari masa Prapaskah disediakan dengan proper Misa).

4. Ember Days Pentakosta [hari Rabu, Jumat, Sabtu setelah Minggu Pentakosta] adalah satu-satunya Ember Days tanpa puasa, karena Ember Days Pentakosta termasuk ke dalam Oktaf Pentakosta. Karenanya, tidak seperti Ember Days September, Adven, dan Prapaskah, kasula lipat tidak dipakai selama Misa pada masa ini.

5. “Gereja-gereja besar”, yang dimaksud rubrik berarti katedral, gereja kolegiat, dan juga gereja paroki. Ini ditegaskan oleh keputusan Kongregasi Ritus-ritus Suci pada tanggal 11 September 1847 yang ditujukan kepada Nicholas Wiseman, uskup London, yang kemudian mendirikan kembali hierarki Katolik di Inggris dan paroki-paroki baru yang masih sering kekurangan busana liturgi. Keputusan yang sama menganjurkannya untuk merayakan Misa di katedralnya tanpa pelayan kudus [diakon dan subdiakon] daripada merayakan Misa dengan diakon dan subdiakon tetapi tanpa kasula lipat. Keputusan ini tampak agak tidak fleksibel karena itu ditekankan dalam kumpulan dekrit terakhir dari S. C. R .: suatu gereja besar yang kekurangan kasula lipat selalu dapat merayakan Misa dengan para pelayan [diakon] yang melayani tanpa kasula lipat, yang hanya memakai alba, stola, dan manipel.

6. Gereja-gereja kecil tampaknya telah dibebaskan dari penggunaan kasula lipat bukan karena kekurangan kasula, tetapi karena sulit untuk memiliki tiga kasula yang sesuai, di mana dua di antaranya dilipat.

7. Tanggapan lain oleh Kongregasi Ritus-ritus Suci (n. 5385, 31 Agustus 1867) menetapkan bahwa kasula lipat harus dipakai di hadapan Sakramen Mahakudus yang ditakhtakan selama Doa Empat Puluh Jam yang berlangsung pada masa Adven atau Prapaskah.

8. Penggunaan kasula lipat terkait dengan masa liturgi, karenanya kasula lipat tidak dipakai selama Misa Requiem, yang tidak terikat pada masa tertentu: sebagai gantinya dipakai dalmatik hitam dan tunik hitam.

PENGGUNAAN DALAM LITURGI
Bagi para pelayan yang membantu selebran, cukuplah bahwa bagian depan kasula mereka dilipat; tetapi ketika diakon atau subdiakon harus melaksanakan tugas-tugas mereka, mereka sepenuhnya melepas busana liturgi ini atau melipatnya.

Dengan demikian, subdiakon melepas kasula lipatnya sebelum menyanyikan Epistola, dan memakainya lagi segera setelahnya [8].
Tugas diakon dimulai dengan menyanyikan Injil dan berlanjut sampai akhir Komuni; selama waktu ini, diakon tidak melepas kasula lipatnya sama sekali, tetapi memakainya terlipat dan digantung di bahu kirinya, melekat di bawah lengan kanan dengan tali tipis (atau bahkan dengan membuat simpul) di atas stolanya. Setelah Komuni, diakon membuka gulungan kain dan memakai kasula lipat seperti sebelumnya.

Untuk menyederhanakan prosedur ini, muncul kebiasaan melipat kasula yang lain, yang diakon letakkan di atas pundaknya pada waktu yang tepat. Kemudian, kasula lipat ini sering diganti oleh pita sederhana dari kain yang sama, yang biasanya dijuluki sebagai stola lebar [9].
Selama Misa Pontifikal, asisten diakon memakai busana liturgi mereka " yaitu kasula lipat di bagian depan, di atas cotta atau rochet "menjelang akhir Terce, sebelum uskup menyanyikan collecta [doa pembuka] [10].

Subdiakon pembawa salib juga memakai kasula lipat [11].

EVOLUSI BENTUK DARI KASULA LIPAT KE KASULA POTONG
Penggunaan sebenarnya yaitu, melipat bagian depan kasula dan menjaganya agar tetap terlipat dengan tali atau kait terus bertahan sampai hari ini.

Pada abad ke-17, Pisacara Castaldo mencatat bahwa kasula lipat tidak boleh berbeda dari selebran [12]. Pada abad ke-18, Merato, mengomentari Gavantus, lebih lanjut menetapkan bahwa kait yang membuat kasula terlipat harus dilepas di antara upacara-upacara agar jangan sampai kasula rusak, dan agar para imam dapat memakainya dengan nyaman dalam Missa Lecta [13].
Karenanya, kasula lipat persis seperti namanya: kasula seperti yang lainnya, dipakai dengan bagian depan dilipat dari dalam hingga setinggi siku, dan sering dijepit dengan dua klip baja.
Namun demikian, selama berabad-abad, ketika kasula untuk selebran dipotong pada bagian tepinya demi kenyamanan, kasula lipat untuk diakon dan subdiakon kemudian dijahit secara permanen, dan akhirnya kain yang berlebih dipotong (karena itu beberapa orang menyebutnya sebagai “kasula potong”, tetapi istilah umum yang tetap dipertahankan adalah “kasula lipat”).
Catatan kaki:

1. f. De Oratoribus bab. XXXIX, dikaitkan kepada Tacitus (58-120)
2. Ada banyak kasula yang dimiliki St. Paulus.
3. Tertullianus, De Oratione, bab. XV.
4. Amalarius of Metz, De ecclesiasticis officiis, II, 19 (PL 105, 1095).
5. A. King, Liturgi Gereja Roma, London-New York-Toronto, Longmans, 1957, hlm. 130.
6. Bahkan jika beberapa kasula selebran terkadang memiliki lipatan atau tali; ini adalah tradisi yang digunakan di Katedral Rheims.
7. De qualitate paramentorum tit. XIX, n. 6, 7. “In diebus vero ieiuniorum (præterquam in vigiliis Sanctorum) et in Dominicis et feriis Adventus et Quadragesimæ ac in vigilia Pentecostes ante Missam (exceptis Dominica Gaudete, si eius Missa infra hebdomadam repetatur, et Dominica Lætare, Vigilia Nativitatis Domini, Sabbato Sancto in benedictione Cerei et in Missa, ac quatuor temporibus Pentecostes) item in benedictione Candelarum et Processione in die Purificationis Beatæ Mariæ, et in benedictione Cinerum ac benedictione Palmarum et Processione, in Cathedralibus et præcipuis Ecclesiis utuntur Planetis plicatis ante pectus; quam planetam Diaconus dimittit, etc. In minoribus autem Ecclesiis, prædictis diebus ieiuniorum Alba tantum induti ministrant: Subdiaconus cum manipulo, Diaconus etiam cum stola ab humero sinistro pendente sub dextrum.”
8. “Jika para pelayan memakai kasula lipat, akolit pertama naik sesaat sebelum doa pembuka berakhir sebelum Epistola dan mengambil kasula lipat dari subdiakon, kemudian yang terakhir mengambil buku, menyanyikan Epistola, dan mencium tangan selebran. Setelah mengembalikan buku itu,  dia kembali dengan kasula lipat " baik di altar atau di meja kredens " dan memindahkan Misale dari sisi Injil dengan bantalan atau dudukan buku.” Pio Martinucci, Manuale sacrarum Caerimoniarum, bab. VI, n. 14.
9. “Setelah selebran mulai membaca Injil [dengan suara pelan], diakon turun dari sisi altar, seperti yang telah dikatakan. Pada meja kredens dia menaruh kasula lipat dan memakai stola lebar; kemudian dia mengambil Injil, membawanya ke altar, dan menyelesaikan tugas-tugasnya.” Pio Martinucci, Manuale sacrarum Caerimoniarum, bab. VI, n. 15.
10. Caerimoniale Episcoporum, Buku II, bab. XIII, n. 3.
11. Pierre Jean Baptiste de Herdt, Pratique de la liturgie selon le rite romain, hlm. 213.
12. A. Pisacara Castaldo, Praxis caeremoniarum, Neapoli, Scoriggium, 1645, hlm. 178.
13. B. Gavantus  G.M. Merato, Thesaurus Sacrorum Rituum, Venetiis, Balleoniana, 1792, I, hlm. 48.
Diterjemahkan oleh Nicholas Adityas



Daftar Label dari Kategori Kutipan Katolik




Nama-Nama Bayi Katolik Terlengkap

Kalender Liturgi Katolik 2024 dan Saran Nyanyian

Kalender Liturgi Katolik Desember 2023 dan Saran Nyanyian


Orang Kudus Katolik Dirayakan Desember
Santo-Santa 13 Desember - Santa Lusia (Perawan dan Martir), Santa Odilia atau Ottilia (Pengaku Iman)

MAZMUR TANGGAPAN & BAIT PENGANTAR INJIL
- PASKAH
- KENAIKAN
- PENTAKOSTA
- BIASA



NEXT:
Ketika gembala menjadi serigala, tugas pertama kawanan adalah mempertahankan diri (Dom Prosper Guéranger)

PREV:
Sasaran dari Tahun Baru (Gilbert Keith Chesterton)





Arsip Kutipan Katolik..


Jadwal Misa Gereja Seluruh Indonesia
1. Map/Peta Gereja Katolik di Jakarta
2. Map/Peta Gereja Katolik di Surabaya
3. Map/Peta Gereja Katolik di Makassar
4. Map/Peta Gereja Katolik di Bandung
5. Map/Peta Gereja Katolik di Medan
6. Map/Peta Gereja Katolik di Depok
Agustus - Hati Maria Yang Tidak Bernoda(3)
April - Sakramen Maha Kudus (6)
Bulan Katekese Liturgi(5)
Bulan November - Jiwa-jiwa Kudus di Api penyucian(4)
Bulan Oktober - Bulan Rosario(1)
Bulan Oktober - Bulan Rosario suci(4)
Desember - Bunda Maria yang dikandung tanpa noda(4)
Februari - Keluarga Kudus Yesus Maria Yosep(5)
Ibadah(1)
Januari - Bulan menghormati Nama Yesus(5)
Juli - Darah Mulia(2)
Juni - Hati Kudus Yesus(10)
Maret - Pesta St. Yosep(3)
Mei - Bulan Maria(8)
Penutup Bulan Rosario(1)
Peringatan Arwah(2)
Rabu Abu(1)
SEPTEMBER - TUJUH DUKA MARIA(7)